Perempuan Islam dan Jilbab

Menjadi perempuan merupakan hal yang istimewa juga menjadi hal yang mengecewakan. Perempuan berasal dari kata “empu” yakni berarti kehormatan dan kesaktian. Namun, nyatanya Menurut Salim (1984) Perempuan seringkali dianggap sebagai makhluk yang lemah, ketika perempuan melakukan aksi –dalam hal ini dicontohkan dengan mata yang lalang, dada yang terbuka karena tidak tertutup lapisan yang longgar atau pakaian dengan model leher rendah- maka reaksi dari lawan jenis yang lebih kuat akan menyebabkan ia kalah dan jatuh. Pendapat yang dikemukakan ini agaknya mewakili beberapa jika tidak bisa dikatakan sebagian besar pandangan terhadap perempuan.

Pendapat tersebut juga diperkuat realitas yang menunjukkan bahwa perempuanlah yang cenderung menjadi objek seks baik karena struktur psikologis maupun pendidikan sosial yang diterimanya, dibandingkan dengan pria. Hal ini karena sex appeal yang dimiliki perempuan dalam penampilan fisik tubuhnya dapat memicu rangsangan pada pria hingga merubah perempuan sebagai objek seks dalam realita menjadi fantasi seks, dan hal itu tidak berlaku secara umum bagi wanita yang melihat pria, karena pria sebagai objek seks dalam realita tidak lantas menjadi fantasi seks dalam pikiran perempuan. Hal tersebutlah yang kemudian diduga menjadikan Islam mewajibkan hijab atas wanita dan bukan atas pria, meski pada dasarnya pria juga merupakan objek seks dalam realita. (Fadhlullah, 2000 : 110).

Wacana jilbab di Indonesia tidak pernah lepas dari kondisi sosial dan politik yang membentuk model konsumsi atau penggunaan jilbab di kalangan perempuan muslim. Maka wajar jika satu era jumlah pemakainya sedikit tapi pada masa yang lain terlihat membludak. Memasuki periode 1980-an, penggunaan jilbab mulai marak sampai muncul wacana memisahkan siswi berjilbab dan yang tidak di sekolah-sekolah negeri. Di tengah makin mengentalnya polemik jilbab, pemerintah Orde Baru merasa perlu turun tangan. Beberapa pihak menolak kebijakan tersebut. Contohnya siswi-siswi di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung. Di tengah makin mengentalnya polemik jilbab, pemerintah Orde Baru merasa perlu turun tangan. Pada 17 Maret 1982 Dirjen Pendidikan dan Menengah (Dikdasmen) mengeluarkan aturan pelarangan jilbab di sekolah negeri. Aturan ini dicabut pada 1991, atau masa di mana rezim Orba mulai mendekati ormas-ormas Islam untuk kepentingan politis.

Dua dekade pasca tumbangnya Orba, norma berbusana bagi perempuan muslim di ruang publik dikuasai narasi wajib berjilbab. Lalu jika perempuan tersebut tidak mengenakkan jilbab ia pasti akan mendapat pandangan yang aneh dari orang sekitarnya, terlebih lagi jika mereka hendak melaksanakan ibadah di dalam masjid lalu mereka memasuki masjid dengan tidak mengenakkan jilbab. Dikutip dari laman Tirto.id (Bagaimana Rasanya Jadi Muslimah Tanpa Jilbab di Indonesia Masa Kini), djabarkan testimoni oleh narasumber Tirto yang bernama Dias Saputri dan Nurina Jihan Yulianti, saat di wawancarai tentang keadaan mereka yang menjadi minoritas diantara mayoritas perempuan yang mengenakan jilbab, yaitu Pengalaman dikira non-muslim Jihan katakan sering, terutama saat dulu ia bekerja untuk lembaga survei sehingga sering bertemu orang baru. Demikian juga di rumah sakit, di mana beberapa koleganya kaget kala Jihan izin mau melaksanakan salat.

“Kadang bukan karena aku tidak berjilbab saja, tapi secara fisik aku dikira orang chinese, mata sipit. Atau luar Jawa, dari daerah Timur. Nah mereka mengasumsikan orang chinese atau luar Jawa itu non-muslim, sementara dari Jawa sebagian besar muslim," katanya melalui sambungan telepon, Rabu (19/6/2019).
Perasaan sebagai minoritas tidak terlalu Putri rasakan saat berada di ruang publik, melainkan ketika salat di masjid, terutama yang menjadi basis komunitas muslim konservatif.

Berulangkali ia dipelototi pengunjung masjid lain, dari atas sampai bawah. Muka mereka menampakkan rasa heran mengapa seorang perempuan tanpa jilbab, yang wajahnya sudah basah oleh air wudhu, sedang bersiap-siap mengenakan mukena. Putri selalu berpikiran positif bahwa barangkali di masyarakat sekitar masjid menafsirkan jilbab sebagai kewajiban yang tidak bisa ditawar untuk perempuan muslim. Meski demikian pengalaman-pengalaman itu membuatnya untuk memilih salat di rumah—kecuali saat kondisi tertentu.
Hal ini mungkin wajar saja terjadi pada mereka yang tidak mengenakkan jilbab. Tetapi bukankah perempuan itu indah, lemah lembut, dengan atau tidak jilbab yang ia kenakan? Kenyataan yang terlihat sekarang bahkan sesama perempuan sekalipun saling menghakimi tetapi memakai dalih “saling mengingatkan”. Seakan-akan surga atau pun neraka di atur oleh mereka, juga penilaian atas dosa telah diketahui oleh mereka. Minoritas perempuan yang tidak berjilbab semakin terkungkung tidak hanya pada lawan jenis saja, tetapi sesama perempuan menjadikan itu semakin nyata. Setidaknya itulah sedikit gambaran tentang konteks sosial dari Jilbab, khususnya di Indonesia. Bahwa Jilbab yang diartikan sebagai pakaian teologi karena ada perintah agama yang menganjurkan perempuan menutup kepalanya -terlepas dari semua perbedaan pendapat yang menyertainya. Sebagai pakaian teologi, jilbab ini dijadikan semacam tameng atau pelindung bagi mereka yang merasa terancam baik dengan mengenakan atau melepas. Tetapi jilbab juga kemudian dijadikan komoditi dagang yang menggiurkan dengan menjadikan jilbab sebagai lifestyle. Sangat mungkin lifestyle tersebut berpengaruh positif, tetapi tidak pula menutup kemungkinan untuk melupakan nilai dasar agama tentang tata cara berpakaian, yaitu untuk tidak bertabarruj.

Dalam perspektif Sosiologi, jilbab adalah suatu gejala yang terkait dalam dimensi sosial. Jilbab adalah salah satu perintah dalam agama Islam yang diwajibkan kepada kaum wanita untuk memakainya. Namun pada saat ini jilbab menjadi sebuah gejala sosial yang dalam satu sisi bernilai positif dan sisi lain menyimpan hal negatif. Jilbab kini diinterprestasikan sebagai subjektivitas individu, seperti banyak yang memahami berjilbab sebagai perintah agama dan keharusan, sugesti, fashion, dan adapula yang beranggapan sebagai paksaan belaka. Pemakaian jilbab dalam sosiologi juga dipandang sebagai sebuah bagian dari kebudayaan. Agama sebagai suatu sistem sosial tertentu, yang dibuat oleh penganut-penganutnya. Adapun keputusan seseorang untuk berjilbab atau tidak berjilbab, pada hakikatnya merupakan bagian dari perilaku atau perbuatan yang dilakukan oleh orang itu sendiri sekaligus merupakan bagian dari tindakan yang dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Namun tindakan yang dilakukan umumnya berkaitan dengan orang lain, mengingat secara kodrati manusia juga sebagai mahluk sosial, dan hal ini yang kemudian dipahami sebagai tindakan sosial. Sehubungan dengan hal tersebut Max Weber mengemukakan pandangannya tentang tindakan sosial dengan mencerminkan adanya suatu tindakan yang melibatkan orang lain atau sebagai tindakanyang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Bagi Weber, tindakan dikatan terjadi ketika individu melekatkan makna subyektif pada tindakan mereka.

Dengan segala hal yang membatasi perempuan, jika terjadi pelanggaran yang ia perbuat, maka manusia lain siap untuk mengadili, menimbang segala dosa yang perempuan lakukan. Dan agama dijadikan pegangan oleh manusia tersebut untuk mengadili segala pelanggaran yang dilakukan perempuan. 

Bagiku agama bukan bukan tentang surga atau neraka, tetapi bagaimana kita memperkaya diri untuk menjadi orang yang lebih baik. Menjadi muslim berarti menjadi anggota yang berguna bagi masyarakat. 











Sumber :
Fadhlullah, Sayid Muhammad Husain. 2000. Dunia Wanita dalam Islam. Jakarta: Lentera
Hasan, Akhmad Muawal (Tirto.id). 2019. Bagaimana Rasanya Jadi Muslimah Tanpa Jilbab di Indonesia Kini https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/bagaimana-rasanya-jadi-muslimah-tanpa-jilbab-di-indonesia-masa-kini-ecNf. Diakses 7 Februari 2020
Ritzer, George. 2010. Teori Sosilogi. Yogyakarta : Kreasi Wancana
Salim, Darby Jusbar. 1984. Busana Muslim dan Permasalahannya. Jakarta: Proyek Pembinaan Kemahasiswaan Dirjend Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI.
Setiawan, Eko. 2016. Fenomena Jilbab dalam Perspektif Sosiologi. Dialogia, Vol. 14, No. 1 (116&117). Malang: Universitas Brawijaya


Komentar